Urwah bin
Zubair
Suatu pg Di
Baitullah, sekelompok sisa-sisa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan lantunan
tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan doa-doa yang shalih. Mereka
membentuk halaqah-halaqah,.
Di dekat rukun
Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari keluarga yang
mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid, bersih
pakaiannya dan menyatu hatinya.
Keempat remaja
itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mush’ab bin Zubair,
saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu lagi Abdul Malik bin Marwan.
Pembiacaraan
mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar
masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Mulailah Abdullah bin
Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi
khalifahnya.” Saudaranya, Mus’ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat
menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.” Giliran
Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan
itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi
khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Sementara itu
Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun. Semua mendekati dan
bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau
berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi semua cita-cita
dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim, sehingga orang-orang akan
belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunah Nabi-Nya dan
hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga
dengan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Hari-hari
berganti serasa cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah
menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang telah meninggal. Dia menjadi hakim atas
Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan, dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah,
tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-cita dahulu.
Sedangkan Mus’ab
bin Zubair telah mengauasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan akhirnya
juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Adapun Abdul
Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair
dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya,
dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.
Beliau lahir satu
tahun sebelum berakhirnya masa khilafah al-Faruq Radhiyallahu ‘Anhu.
Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur
martabatnya. ayahnya bernama Zubair bin Awwam, “al-Hawari” (pembela) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam
serta termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Sedangkan
ibunya bernama Asma binti Abu Bakar ash-Shidiq yang dijuluki dzatun nithaqain
[pemilik dua ikat pinggang].
Kakek beliau dari
jalur ibu adalah Abu Bakar ash-Shidiq, khalifah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menemani beliau di sebuah goa. Sedangkan nenek dari
jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bibinya adalah Ummul Mukminin, bahkan dengan tangan
Urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah
ummul Mukminin.
Demi
merealisasikan cita-cita yang didambakan, beliau amat gigih dalam usahanya
mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para
shahabat Rasulullah yang masih hidup.
Beliau mendatangi
rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis
mereka. Beliau meriyawatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf,
Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu
Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari
bibinya, Aisyah Ummjul Mukminin. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi
satu di antara fuqaha sab’ah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi
sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.
Para pemimpin
yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada beliau baik tentang urusan ibadah
maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau. Sebagai
contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur
di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan
untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.
Usai shalat
zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin oleh
Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka
beliau melapangkan majlis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid
kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk
suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar
sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah
kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di
antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat
yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi
melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan
memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan
Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Alquran setiap
siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Alquran
dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja
hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang
sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.
Telah
diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat
kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak
saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci?
Demi Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan
garam.”
Urwah bin Zubair radhiyallahu
‘anhu adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara
bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang
luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta
buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga
kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala
buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah
beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.
Begitulah,
orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang
masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap memasuki
kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dan mengapa
kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaa allah, laa quwwata
illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)
Suatu masa di
zaman khilafah al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan
suatu cobaan yang tak seorang pun mampu bertahan dan tegar selain orang yang
hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan.
Tatkala amirul
mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan
undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya
dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan
ramah.
Kemudian
datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana
angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke
kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor
kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.
Belum lagi tangan
seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak
kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar
dengan cepatnya.
Kemudian
bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk
mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara
apapun.
Namun para tabib
itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit
menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Jalan itu harus
ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat
daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah:
“Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan
sakitnya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan
menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan). Tabib berkata,
“Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil
sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ketika operasi
hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya, “Apa yang
hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa
jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakan kaki dan itu bisa
membahayakan Anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya.
Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”
Mulailah tabib
menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji
untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa
ilaaha Illallah Allahu Akbar,” sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah
juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.
Setelah itu
dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis
Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah
pingsan untuk beberapa lama dant terhenti membaca ayat-ayat Alquran di hari
itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan
yang beliau jaga semenjak remajanya.
Ketika Urwah
tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya
sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah
malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk
hal-hal yang haram.”
Kemudian
dibacanya syair Ma’an bin Aus:
Tak pernah
kuingin tanganku menyentuh yang meragukan
Tidak juga kakiku
membawaku kepada kejahatan
Telinga dan
pandangan mataku pun demikian
Tidak pula
menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu,
tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah
menimpa orang lain sebelumku.
Kejadian tersebut
membuat Amirul Mukminin, al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah
kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan
menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.
Bersamaan dengan
itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di
antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebutaannya.
Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan
Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal
bersama keluarga di suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air
bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa
bagi saya hanyalah seekor onta yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang
saya bawa di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya
mendengar jerit tangis bayi itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah
berada di mulut serigala, dia telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa
berbuat apa-apa lagi karena bayi itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala
tersebut lari dengan kencangnya. Akhirnya saya kembali mengejar onta liar tadi
sampai dapat. Tapi begitu saya mendakat dia menyepak dengan keras hingga hancur
wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah, saya dapati diri saya
kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa
memiliki penglihatan.
Kemudian al-Walid
berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu
mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih
ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”
Tatkala beliau
diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum
ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil
satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat
kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur
bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya
untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih
banyak dan lebih darinya.”
Demi melihat
kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang
berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.
Yang paling baik
di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin
Thalhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu
telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul
kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan
engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan
pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim
kebagusan hisab untukmu.”
Urwah bin Zubair
menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan kemenangan
dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar adalah
mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Beliau
tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan
selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.
Tak
bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya untuk bersungguh-sungguh
dalam menuntut ilmu. Beliau berakata, “Wahai putra-putriku, tuntutlah ilmu dan
curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari ini kalian menjadi
kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah menjadikan kalian sebagai
pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh menyedihkan, adakah di dunia
ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang bodoh?”
Beliau anjurkan
pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah adalah hadiah
yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berkata, “Wahai
anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan apa yang kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin
kalian, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih
berhak didahulukan dan diutamakan.”
Beliau senantiasa
mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi hakikatnya. Beliau
berkata, “Wahai putra-putriku, jika engkau melihat kebaikan pada seseorang maka
akuilah itu baik, walaupun dalam pandangan banyak orang dia adalah orang jahat.
Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya. Dan jika melihat
pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam bersikap walaupun dalam
pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab setiap perbuatan ada
kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan kebaikan setelahnya
dan kejahatan menyebabkan timbulnya kejahatan berikutnya.”
Beliau juga
mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah ramah.
Beliau berkata, “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah, “Jadikanlah
tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang
daripada suatu pemberian.”
Jika beliau
melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan,
diingatkannya betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
membiasakan diri untuk hidup sederhana.
Sebagai contoh
adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin al-Munkadir, “Aku bertemu
dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku sambil berkata, “Wahai Abu
Abdillah.” Aku jawab, “Labbaik.”
Urwah berkata,
“Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah, lalu beliau berkata, ‘Wahai anakku, demi
Allah, ada kalanya selama 40 hari tak ada api menyala di rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk lampu ataupun memasak.” Maka aku bertanya,
“Bagaimana Anda berdua hidup pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Dengan korma
dan air.”
Urwah hidup
hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian, dan diliputi
ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya sudah dekat dan dia dalam keadaan berpuasa,
keluarganya mendesak agar beliau mau makan, tetapi beliau menolak keras karena
ingin berbuka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan minuman dari
telaga al-Kautsar yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh para bidadari
cantik di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar