Kuulurkan Hijabku
Terus menyelam ke dalam
kehangatan cinta, menangis dan merajuk pada sang pencipta. Tak tahu harus
merangkak dan merengek kepada siapa selain kepada-Nya. Senyum yang terus
merekah menggambarkan betapa bahagianya dia dengan hidup yang dijalani. Bukan
hal yang sulit melewati hidup dengan konsistensi tinggi seperti gadis cantik
nan pintar ini, dia adalah Maria Qiftiayah.
Hari
ini, Qifti siap berangkat ke sekolah bersama adiknya Galih. Dengan membawa dua
kotak kue yang akan dititipkan di kantin sekolah. Sudah dua tahun ini kedua
kakak beradik ini telah mendapatkan beasiswa, namun tak pernah menyombongkan
diri.
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam, eh nak Qifti.
Wah sepertinya bawa kue cukup banyak.’
“Iya bu, Alhamdulillah bunda
dapet modal banyak kemaren.”
“Alhamdulillah, semoga aja habis.
Oh iya, ini hasil penjualan kemaren.”
“Iya bu, makasih ya.”
Qifti segera masuk ke kelasnya
untuk mengikuti proses belajar mengajar. Tidak seperti biasa, kelas begitu
lengang tanpa suara bahkan sampai bel berbunyi.
“Tyas, tumben hari ini kelas
sepi, nggak kaya biasanya kenapa ya?”
“Ya elah Qif, apa loe
nggak liat tadi, siapa yang ngajar?”
“Kak Syaili kan. Terus kenapa?”
“Ih, loe mah cupu. Kakak
itukan ganteng banget, hemmm.”
“Ah, biasa aja tuh.”
“Loe emang nggak ngerti Qif.”
Qifti berfikir keras perkataan
Tyas, namun dia belum bisa mengerti.
Sebentar
lagi Qifti ujian semester dua, dan siap bertarung kembali untuk mendapatkan
beasiswa akademik. Dengan kepintarannya Qifti tetap belajar keras demi
sekolahnya. Sehingga dia begitu polos dari namanya cinta remaja. Saat ini Qifti
tidak ingin memikirkan hal itu dan fokus untuk sekolah. Satu hal yang ingin iya
lakukan. Membuat ibunya tersenyum, terutama setelah ayahnya pergi tanpa pesan.
“Assalamualaikum,
bunda.”
“Wa’alaikumsalam, Qif. Udah
pulang? Adekmu mana, kok belum pulang?”
“Hemm, iya bun dia pulang
sore mau persiapan OSN,”
“Huft... iya udah kalau gitu.
Gimana hasil yang kemaren nduk?’
“Alhamdulillah. Tapi sisa tiga,
tak suruh bawa Galih buat makan siang bun.”
“Iya nggak apa-apa.”
Qif merasa sangat bahagia melihat
ibunya tersenyum, namun tiba-tiba rona wajahnya berubah menjadi kelam.
Dihatinya begitu pilu bila ingat kesengsaraan yang dirasakan ibunya. Namun
dengan segera ditepisnya, karena ia tak ingin terlarut dalam kesedihan. Dihapuskan
air mata dari pipinya dan segera keluar dari kamar membantu ibunya membuat kue.
“Qif, udah ganti bajunya nak?
Makan dulu sayang.”
“Hemmm, iya bun, bunda udah makan
belum?”
“Udah sayangku.”
*****
Tidak seperti biasanya, Qif merasa ada yang sedikit berbeda di
sekolahnya. Qif berusaha keras befikir mencari-cari perbedaannya. Di
pandanginya setiap sudut sekolahnya. Qif menaruh tas di bangkunya. Setapak demi
setapak ia lalui. Membuka mata lebar-lebar.
“KETEMU.” suara keras
mengagetkan orang disekelilingnya.
“Kenapa Qif?” tanya Aldi.
“Oh, nggak. Maaf ya?”
ucap Qif lesu.
“Sip. Aku ke kelas ya.” jawab
Aldi.
“He, eh.” Qif hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sesuatu yang berbeda adalah rasa di kantin sekolah. Dilihatnya
sepasang cicak menari-nari di rak piring penjual mie ayam. Tapi bukan itu,
namun sosok yang menggantikan ibu kantin tempat ia menitipkan kue tidak ada.
Kebetulan hari ini adalah jum’at, jadi tidak menitipkan kue. Namun yang membuatnya
lebih merasa berbeda adalah penjualnya. Qifti menatap penjualnya seksama.
Lambat laun Qif ingat.
“TATA. Kamu Tata kan?” tanya
Qif meyakinkan diri.
“Iya, siapa ya?” tanya
penjual.
“Ih, masa lupa sih. Saya
Qif, temen SD mu. Waktu itu kamu pindah waktu kelas dua. Inget kan?” Qif masih
penasaran.
“Iya, aku Tata. Qif? Yang mana
ya? Qiftiyah Umami bukan? Bukan ya. Qif yang mana sih. Temen saya SD? Kapan
saya SD ya. Kok nggak inget ya.” penjual masih berusaha keras mengingat.
“ Maria Qiftiyah. Anaknya bu
Aminah penjual jajanan SD. Tetangga belakangmu dulu. Dulu, ayah kamu ABRI,
karena pindah tugas, makanya kamu pindah.” Qif masih menjelaskan.
“ Oh, iya aku inget. Yang
sering aku panggil roti mari kan. Ih, maaf banget ya. Maklum sejak pindah ganti
temen.”
Akhirnya sang penjual ingat.
Dan mereka terus asik mengobrol sampai bel bunyi, dan Qifti segera masuk kelas.
Jam dinding terus merdetak, lambat laun mengayun-ayun tanpa
henti. Semakin lama waktu semakin berlalu. Daun-daun yang menua dan gugur.
Bunga-bunga yang kuncup merekah. Serta matahari yang mulai turun dan masuk ke
dalam mihrab nya. Lamunannya terbawa sampai ke rumah. Tak tahu pikiran apa yang
tengah menggelayutinya. Malam yang dinginpun tak mengajaknya untuk tidur dalam
balutan selimut. Qifti mulai mencari kotak dalam lemarinya, meraih dan
membukanya.
“Ini, gelang yang pernah Tata
kasih ke aku.” Qifti menggumam sendiri. Terus dibuka dan dilihat dengan
seksama.
“Ini, foto pertama kami dapet
rangking umum. Aku kangen kamu Ta. Sahabat dari SD, pisah karena pindah.
Sekarang kamu dateng tanpa angin. Hampir aja aku ngelupain kamu.”
Qifti mulai tertidur dengan
lamunan masa kanaknya dulu.
Pagi ini Qifti menitipkan kembali kue buatan ibunya di kantin
sekolah. Namun sosok Tata tak terlihat lagi. Qif mencari dan menunggu namun tak
muncul-muncul. Qiftipun meninggalkan kantin. Qif tak sabar menyelesaikan
pelajaran hari ini. Saat bel istirahat berbunyi, Qif ke kantin dan mencari Tata
kembali. Namun tidak ditemukan. Bahkan sampai sekolah usai. Qifti hanya
bergumam, kemana Tata pergi. Qif pulang dengan segudang tanya menggelayut dalam
otaknya.
“Qif?”
“Iya bun.”
“Kapan kamu pulang, kok nggak
salam?”
“Iya bun, mungkin karena aku
melamun di jalan tadi, jadi nyelonong aja. Hehehe maaf ya bun.”
“Lagi mikiran apa sih
sayangku. Udah tiga hari melamun terus?”
“Qif ketemu temen SD bun.
Tata, ingat nggak bun? Dia jaga kantin bun, tapi tadi aku cari kok nggak
ada ya.”
“Oh, iya. Anaknya pak ABRI
itukan? Mungkin nggak lagi jaga kantin sayang. Namun Qifti masih
penasaran dengan keberadaan temannya itu. Sampai seminggu tak juga muncul
kembali.
*****
Hujan turun deras menghentikan langkah kaki Qif. Segera berlari
meneduhkan diri dibawah pohon. Seorang diri tanpa kawan hal yang biasa.
Tiba-tiba saja ada yang datang. Laki-laki berjaket kulit dengan helm turun dari
motornya. Qif masih diam di tempat. Ada sedikit rasa takut dalam diri bila
laki-laki itu bermaksud jahat. Namun segera di tepiskannya. Namun laki-laki
segera berada disampingnya, membuka kaca helm.
“Apa kau mencariku?” suara itu
terlontar dari laki-laki itu. Namun hujan telah reda, dan laki-laki itu pergi.
“Hei, tunggu, kamu siapa?”
tanya Qif. Namun lelaki itu tidak kembali. Qif segera pulang dan
mengingat-ingat suara itu. Siapa dia, kenapa dia ngomong gitu. Qif terus
memikirkannya. Namun tak terasa lagkahnya telah sampai di depan rumah. Dan sang
bunda sedang membaca sebuah pamflet dari Universitas.
“Assalamualaikum, bun.”
“Wa’alakumsalam. Sini bunda
kasih tau.”
“Apa bunda?”
“Ini tadi ada cowok dateng
bagi pamflet juga brosur beasiswa. Tahun depan kamu harus kuliah.”
“Bunda. Tapi dapet biaya dari
mana?”
“Ini brosur beasiswa. Coba
kamu ikut seleksinya ya. Sebulan lagi. Semua biaya udah ditanggung
universitas.”
“Tapi bun, Qif nggak mau
jauh dari bunda. Bunda tau kan konsekuensinya. Tempat ini jauh. Belum tentu Qif
bisa pulang setahun sekali.” Qif meneteskan air matanya. Tak ingin ia pergi dan
meningggalkan ibu serta adiknya yang masih sekolah. Qif ingin membantu
membiayai kehidupan keluarga kecilnya. Segera Qif masuk ke kamar dan menangis
sejadi-jadinya. Sang ibu hanya mampu terdiam mendengar penuturan anaknya yang
selalu pantang menyerah itu.
Sampai malam Qif belum keluar kamar. Ibu yang masih sibuk
membuat kue meminta Galih melihat kakaknya. Segera ia masuk ke kamar kakaknya.
Dilihatnya Qif tertidur dengan air mata melekat dipipi yang kemerah-merahan
itu. Galihpun melapor pada ibunya.
“Bun, kakak lagi tidur. Emang
ada apa sama kakak bun?”
“Nnggak tau lah le.
Bunda juga bingung. Yowes biarin aja, nanti bunda buatin lauk buat
kakakmu. Siapa tau bangun kelaperan.”
“Iyalah bun. Biarin aja. Kakak
itu ada-ada aja kelakuannya kalau lagi ada masalah.”
Pukul 04.00 wib. Ibu sudah bangun dan menggoreng
donat-donatnya. Membuat adonan kue lapis. Galih juga sudah bangun dan sedang
bermunajat kepada Tuhannya. Qif ikut terbangun dan segera ke dapur.
“Semalem nggak makan, nduk?
Itu lauknya di meja.”
“Nanti aja bun, eh kok goreng
donatnya banyak banget bun?”
“Oh, iya ada pesenan buat
arisan. Jadi nanti kamu nganterin kue ini ke rumah yang pesen ya. Biar yang
sebagian dibawa adekmu dititipin di kantin.’
“Oh, gitu. Ya udah, Qif mandi
dulu ya bun. Bersih-bersih dulu. Risih nih.”
Pukul 06.15.00 wib, Qif sudah siap mengantarkan kue arisan ke jalan Bojonegoro, gang Melati,
nomor 335. Dengan menaiki angkutan kota, Qif menghabiskan waktu 25 menit untuk
sampai ke tujuan.
“Assalamualaikum.” salam
Qifti.
“Wa’alaikumsalam. Siapa ya?”
tanya satpam rumah besar itu.
“Oh, saya Qifti anak ibu
Aminah. Saya mau nganterin kue pesenan buat arisan.” jelas Qif.
“Oh iya, bilang terimakasih
dari nyonya ya dek.” Ucap satpam ramah.
Qifti segera mencari angkot. Namun yang ditunggu tak jua
datang. Namun tiba-tiba datang laki-laki dengan motornya, menawarkan Qif
tumpangan. Namun ia menolaknya karena ia tidak mengenal orang tersebut. Segera
laki-laki itu membuka helmnya.
“Aku bukna orang jahat.”
ucapnya ramah.
“Tata. Ya ampun aku kira
siapa.” Qif kaget. Dia muncul lagi.
“Udah buruan naik, keburu
telat nanti.” perintah Tata.
“Iya Ta, makasih ya.”
Motor yang lebih mirip motor
GP melesat menuju sekolah Qif. Cukup 10 menit. Qif telah sampai sekolahnya.
“Makasih ya Ta.” Qif tersenyum
malu.
“Santai aja. Belajar yang
pinter ya.” ucap Tata sambil mengucak-ucek rambut Qif.
Kembali Qif dibuat penasaran oleh kehadiran Tata, teman masa
kecilnya dulu. Namun segera dibuyarkan suara bel sekolah. Seperti biasa, Qif
belajar di kelasnya.
*****
Sebulan sudah, ibu masih bingung dengan kelakuan Qif yang
semakin aneh. Ia sering membuka album foto, membuka buku catatan waktu sekolah
dasar dan membuka mainan semasa kecil. Bahkan yang membuat aneh adalah, Qif
betah berlama-lama melamun. Itu bukanlah Qif yang selalu berfikir waktu adalah
uang.
“Bun, brosur beasiswanya
dimana. Qif fikir nggak ada salahnya mencoba.”
“Alhamdulillah. Ini segera
diisi, terus besok biar bunda yang kirim. Minggu depan kamu udah harus
berangkat tes di kota Jogja.”
“Tapi, Qif kan nggak
tau gimana caranya kesana?”
“Nanti bunda minta tolong sama
Sota.”
“Siapa Sota bun?”
“Temen kamu yang udah kuliah
di sana, kan lagi liburan tempat tantenya.”
“Yang mana. Lupa aku bun.”
“Ya udah, nanti juga inget. Ya
udah bunda sms dia. Biar dateng ke rumah. Sekalian makan malem bareng.”
“Terserah bunda ja, gimana
baiknya.”
Bunda sudah rapi, juga Galih. Namun Qif masih terdiam dalam
kamarnya dan mengingat-ingat teman lamanya yang bernama Sota. Tiba-tiba suara
motor datang dari halaman rumahnya. Segera Qif merapikan rambutnya dan keluar
menyambut tamunya itu.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Nak Sota
sudah datang. Masuk sini nak.” sambut ibu gembira.
“Qif, nggak lupa sama
aku kan?”
Qif, yang terunduk mengangkat
wajahnya. Qif mengangkat wajahnya.
“Jadi Sota itu Tata. Ya ampun,
pikir ku temen yang mana. Hehehe.” tawa Qif.
Dan mereka makan malam bersama. Tak disangka selama sekolah
Sota mengikuti program akselerasi tiga kali. Sehingga saat ini Sota memasuki
semester 6.
“Wah, kamu keren banget Ta.
Tapi, seingetku nama kamu bukan Sota. Tapi kok jadi sota.” Qif penasaran.
“Iya, bukan Sota. Tapi Endrita
Kusuma Wijaya. Tapi aku ganti nama waktu sekolah menengah.”
“Kok bisa. Jadi nama kamu
sekarang apa?” Qif masih penasaran.
“Sota Kusuma Wijaya.”jawab
Tata pendek.
“Tapi, aku lihat kamu beda ya.
Waktu di kantin sekolahku.”
Tiba-tiba Sota terperanjat. Ia
kaget. Namun segera Sota menenangkan diri dan menjawab pertanyaan dengan
senyum.
“Apa yang berbeda dari aku.
Wajahku?”
“Hemm, iya terlihat lebih
gelap, waktu itu keliatan putih tapi agak pucat dan maaf, lebih tua.”
“Oh.. iya kan baru dari kota.
Habis mabuk di jalan, jadi pucat. Akhir-akhir ini mulai mikirin judul skripsi.
Jadi banyak pikiran, jadi maklum kalo keliatan tua. Hehe.” Sota menjelaskan.
“Jadi gitu ya. Oh ya. Dunia
perkuliahan itu kayak mana sih?”
“Nanti juga tau sendiri, kalu
udah kuliah.”
“Gitu aja. Nggak bantu
sama sekali.”
“Ya udah, aku mau pamit. Udah
malem, jangan lupa belajar. Nanti kita berangkat jum’at sore. Aku jemput.”
“Sip lah Ta. Oh ya aku
panggilin bunda dulu ya.”
“Nggak usah, titip
salam aja ya. Aku balik dulu. Asaslamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam waohmatullohi
wabarokatuh.”
*****
Hari ini, Hari yang paling ditunggu-tunggu keluarga kecil
Qifti. Jam telah menunjukkan pukul 13.28. Namun Sota belum datang juga, hati
Qifti semakin was-was. Tiba-tiba Qifti memeluk ibunya.
“Bun, Qifti minta maaf ya.
Do’ain Qif ya bun. Ridhoi jalan yang Qif ambil bun.”
“Iya sayangku. Tetep semangat
ya. Bunda sama Galih pasti do’ain kamu.”
“Makasih bun. Qif sayang
bunda.”
“Bunda juga sayang banget sama
Qif.”
Qif melepas pelukannya dan
mencium kedua pipi ibunya. Memeluk Galih dan mencium keningnya. Sampai tak
terasa Sota sudah datang untuk menjemput Qif.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Qif dah siap
nak. Ini kebutuhannya selama tiga hari.”
“Iya bu. Sota siap menjaga Qif
disana.”
“Ya udah, segera berangkat.
Nanti ketinggalan kereta lagi.”
“Iya bu. Ayo Qif.”
“Iya Ta. Bunda, doakan Qif ya
bun.”
Qif dan Sota berangkat ke Jogja untuk tes. Sungguh berat hati
Qif meninggalkan ibu dan adiknya. Walau tes bukan di tempat universitas. Tapi
kota Jogja cukup jauh dari kampungnya di Caruban, Madiun. Butuh waktu lima jam
untuk sampai Jogja. Dalam perjalannya, Qif hanya melihat foto ibunya dan
menangis. Sota yang ada di sampingnya memberikan sapu tangannya untuk
membersihkan wajahnya dari cucuran air mata. Tiga jam telah lewat dan mereka
terbuai dalam mimpi sore hari. Dan mereka sampai di Jogja pukul 19.27 wib. Sota
membawa Qif ke rumahnya di Sleman. Segera sang ibu menyambut dengan bahagia.
“Wah, Sota udah pulang. Jadi
bawa temen dari Karang Tengah?”
“Iya mah. Ini Qiftiyah. Ingen nggak mah.”
“Iya mah. Ini Qiftiyah. Ingen nggak mah.”
“Ya inget dong. Anaknya
bu Aminahkan.”
“Iya bu.” ucap Qifti.
“Kamu, mirip sekali dengan
ibumu. Cantik, pintar. Luar biasa ibumu mendidikmu.”
“Tidak bu, saya bukan
selarbiasa itu. La wong saya belum tau apa-apa.”
“Ya udah, kamu naik ke atas.
Tidur di kamar tamu, samping kamar Sota. Nanti Sota saja yang bawa ke kamar.”
“Nggeh bu. Saya duluan
bu.”
“Iya….”
Sesaat Qif ingat, untuk menghubungi ibunya saat berada di
Jigja. Qif membersihkan dirinya dan mermunajat sesaat dan turun kembali untuk
makan malam bersama, karena ibu Sota telah memanggilnya.
“Qif, sini duduk di samping
ibu.’
“Iya bu.”
“Gimana persiapan untuk ujian?
Kata ibumu, kamu pintar sekali.”
“Saya berusa menjadi yang
terbaik. Ah ibu, nggak segitunya. Bunda itu kebiasaan berlebihan
membanggakan anaknya.”
“Alhamdulillah, besok ujiannya
mulai jam delapan pagi di UNY, jadi tetep semangat dan optimis ya.”
“Iya bu. Makasih.”
“Iya Qif, nanti aku anterin.
Aku kan masih libur. Senin baru masuk kuliah lagi.” sambung Sota.
“Sip lah Ta. Maksih ya. Kamu
baik banget. Tapi aku baru inget. Perasaanku dulu Tata punya kakak deh. Tapi
dari kecil tinggal di Jogja, jadi aku nggak tau yang mana orangnya.
Dimana dia bu?”
“Oh. Itu yang lagi…”
“Mah, tolong.”
“Ada apa ini bu, Ta.”
“Oh, kakak aku lagi ngurusin
skripsinya di Bandung.”
“Emm, emang kakak kamu kuliah
dimana?”
“di PolBan.”
“PolBan itu apa Ta?”
“Oh, Iya. Polban itu
Politekhnik Bandung.”
“Oh. Gitu ya. Saya ngerti
sekarang.”
Usai makan malam, mereka ke kamar masing-masing. Karena ibu
Sota tahu, bahwa anaknya serta Qifti masih sangat lelah. Namun Sota ke kamar
ibunya sejenak untuk membicarakan saudaranya.
*****
Selamat pagi dunia. Hari ini adalah hari pertama tesku.
Aku yakin, aku bisa menaklukanmu hari ini.
Dunia, engkau akan berada dalam genggamanku sekarang.
Jadi tunggulah aku.
Hari ini begitu cerah, Qiftipun siap untuk berangkat tes. Namun sebelumnya
ia sarapan bersama dan ibu Sota membawakan bekal untuk keduanya.
“Qif, semangat ya sayangku.”
“Iya bu. Itu pasti.”
“Sota, jangan keluyuran.
Jagain Qif, anak orang itu.”
“Iya mamahku sayang.”
“Kami berangkat dulu ya bu.
Assalamualaikum warohmatulloh wa barokatuh.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya
sayang.
Mereka berangkat, sepanjang jalan Qif mengembangkan senyumnya.
Dia yakin akan menaklukkan soal-soal yang akan dia kerjakan nanti dan akan
membawa kabar gembira untuk ibunya tersayang. Dan Sota hanya bisa tersenyum
miris. Jika Qif tahu, apa yang terjadi sebenarnya.
“Baiklah, udah sampek nih. Aku
anter sampek tempat ya.”
“Oke Ta.”
Sota mengantarkan Qif ke GSG
UNY. Dan meninggalkan Qif dan pesan untuk kembali ke tempat semula.
“Jangan lupa, setelah tes
selesai langung balik kesini lagi ya.”
“Oke Sota.”
Sota kembali ke dalam
mobilnya. Duduk terdiam dan termenung. Bagiman aia menyampaikan pesan
saudaranya untuk Qif.
Sota masih duduk tanpa berkata-kata. Diambilnya foto dari
dompetnya, dipandangi dengan penuh cinta. Endrita, adalah adik Sota. Qif tidak
tahu, dan Sota berbohong. Kakak beradik yang selisih setahun itu, tidak tahu
harus berbuat apa. Ibu Sota hanya dapat menyimpan rahasia yang menjadi beban
Sota selama ini. Adiknya Endrita memang sempat bertemu dengan Qif di kantin dan
sengaja menemui Qif ketika hujan turun dan menghilang lagi. Setelah itu Endrita
benar-benr hilang ditelan bumi menyusul kakak perempuannya yang telah meninggal
ketika berumur dua tahun. Sota menelan ludahnya, matanya telah berkaca-kaca.
Sampai kapan ia harus membohongi Qifti.
Endrita berpesan untuk membawa Qif ke rumah dan diperkenalkan
kepada ibunya. Agar ibunya tahu bahwa perempuan yang ia tinggalkan semasa kecil
dulu telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah dan sekuat dan setegar batu
karang. Membantu Qif untuk meneruskan pendidikan. Dan yang terakhir untuk
memberitahukan kematiannya saat usai ujian beasiswa. Tak terasa Sota sudah
bergelimpangan tangis. Ia tahu saat itu adiknya begitu mencintai Qifti, namun
cintaya tak tercapai dan tak terungkap kepada Qifti sampai malaikan Izroil
datang untuk membawa kembali Endrita ke pangkuan tuhannya, Allah.
“Tok…tok…tok….”
“Sota, Sota?”
Sota kaget, segera ia
menghapus tangisnya.
“Oh, maaf Qif,
ketiduran…hehee.”
“Yakin habis tidur. Bukan dari
nangis.”
“Beneran deh. Sweer.”
“Ya udah, kita makan siang
yuk, udah laper nih. Terus nanti kita sholat ya.”
“Sip lah tuan putri.”
“Ih, apa an sih Sota
ini.”
“Ya udah, buruan makan.”
“Oke deh.”
Ujian terus berlangsung sampai hari kedua. Namun hari kedua
hanya sampai pukul 10.00 wib. Dan ibu Sota mengajak Qifti jalan-jalan dan pergi
ke Malioboro untuk belanja-belanja. Awalnya menolak karena Qifti dibawakan uang
pas oleh ibunya. Namun setelah ibu Sota meminta dengan sangat. Akhirnya Qif
ikut, walaupun hanya sekedar menemani.
“Hemmm, sebelum pulang. Qif
harus ikut jalan-jalan bentar. Juga belanja ya.”
“Iya bu.”
Pertama yang ibu Sota lakukan adalah membeli beberapa baju
gamis dan setelan pakaian muslim dan sejumlah kerudung. Namun Qif tidak tahu
bahwa itu untuk dirinya. Selepas solat dzuhur, Sota menjemput mereka di
Malioboro. Sota membawa mereka ke sebuah pemakaman umum. Tiba-tiba ibu Sota
menitikkan air mata, tak terkecuali Sota. Qif masih bingung dan bertanya-tanya.
Apa yang telah terjadi pada mereka sapai mereka menangis.
“Bu, kita mau ke makam siapa?”
“Sota, mau ke makam siap sih?”
Namun saat ditanya keduanya
hanya membungkam. Sampai pada sebuah makam. Dan ibu Sota memeluk Sota karena
sudah tidak tahan lagi menahan kesedihan ini. Seksama tapi pasti, Qif membaca
kata demi kata yang tertulis di nisan itu.
Wafat
Endrita Kusuma Wijaya
19 Desember 2009
Lahir
19 Desember1991
Qifti tecekat. Meledaklah hatinya, air matanya meleleh di
sungai-sungai pipinya yang merona. Ia pun duduk memegang nisan Tata. Sota yang
tahu sejak awal meminta maaf.
“Qif, maafin kami. Kami
berbohong, karena permintaan Tata.”
“Kenapa dia nggak bilang.
Gimana ini bisa terjadi?” Qifti masih menangis menyesali.
“Tata sakit kanker darah. Dia
sengaja datang menemuimu, pura-pura tidak kenal. Padalah dia sangat
merindukanmu.” jelas Sota.
“Tata sangat mencintaimu, dia
ingin melihatmu dan membawamu kemari dan mengenakan pada ibu.” Ibu masih
menangis mengingat keinginan anak bungsunya.
Qif terdiam, menghapus air
matanya. Dengan tegas dan lantang dia ingin pulang.
“Bu, aku ingin pulang hari
ini.”
“Maafin kami, kami nggak langsung
jujur.”
“Saya ingin pulang.”
“Kami tau ini berat untukmu.
Tapi tunggu sebentar, ada titipan dari Tata. Mari pulang dulu ke rumah.”
Dengan pasrah Qifti pulang ke
rumah Sota.
Qif membereskan pakaiannya. Dan bersiap pulang.
“Qif, ibu harus menyampaikan
ini.”
Qif masih membisu dalam
tangisnya. Sota masih menengangkan Qifti.
“Tata ingin sekali melihat Qif
berkerudung, jadi ini untuk Qif. Dan ini surat dan kado dari Tata. Kami belum
pernah membukanya.”
“Ibu, terimakasih.” Qif segera
memeluk ibu Sota dan menangis bersama-sama.
Qif segera di antar Sota ke
stasiun karena kereta akan segera berangkat. Sota berpesan agar tidak pernah
melupakannya serta ibunya.
*****
Qifti duduk termenung sendiri dikeramaian penumpang kereta.
Dibuka kado dari Tata, perlahan tapi pasti. Berkilauan, menyilaukan mata.
Kalung bertuliskan Qiftiyah dan bros yang terbuat dari perak, bertahtakan diamond.
“Tata, mengapa kamu jahat.
Memberikan aku benda semahal ini, dan aku tidak bisa membayarnya untukmu.”
gumamnya sendiri.
Segera Qif menyimpan hadiah
dari Tata ke dalam tasnya. Qif menarik amplop biru dan membukanya dengan penuh
kasih sayang. Dibacanya dengan penuh perhatian.
Bismillah.
Assalamualaiki Ukhti.
Alhamdulillah, Allah masih memberikanku kesempatan untuk melihatmu dan
semangatmu. Terimakasih ya Allah memberiku kesempatan untuk menulis.
Qif. Tahukah engkau sejak kepindahanku di Madiun, kau adalah satu-satunya
sahabat yang terbaik yang aku punya. Aku bahagia, aku ingin berada disisimu.
Namun aku harus kembali lagi ke Jogja. Meskipun hanya tiga tahun. Tapi aku sangat bangga dan
bahagia memilikimu sebagai sahabat. Namun akhir-akhir ini, aku sangat ingin
bertemu denganmu. Tak hanya itu. Yang membuatku sangat menginginkanmu adalah
saat engkau muncul beberapa kali dalam mimpiku.
Saat aku melihatmu di kantin itu, aku tahu bahwa itu kamu. Namun aku
pura-pura tidak kenal agar engkau penasaran terhadapku. Dan aku berhasil
membuat kejutan ini. Iya kan??
Sungguh, sangat disayangkan, engkau membuka auratmu. Sudah memakai seragam
panjang dan berpakaian sopan. Mengapa tak kau hijab auratmu.
Auratmu sangat mahal. Tak boleh kau umbar-umbar. Tak seorangpun berhak
melihatnya. Sayang, selama ini tanpa kau sadari engkau telah memberi cuma-cuma
keindahan auratmu pada yang tak berhak. Belajarlah ilmu akhirat Qif, aku tahu
engkau orang baik, sosial masyarakat yang baik juga. Tapi tak cukup itu.
Perdalam lah ilmu agamamu.
Tutuplah auratmu dengan hijab yang sempurna. Tak sekedar kerudung tipis
dan menampakkan bentuk leher dan rambut. Namun hijab yang syar’i. semoga engkau
menjadi kekasih dan hamba yang dicintai Allah.
Ingatlah Qif. Saat engkau merapatkan selangkah kakimu pada Allah maka
seribu langkah Dia akan rapat padamu.
Qif, aku sangat mencintaiu. Andai aku diberi wantu lebih lama. Ingin
rasanya aku membawamu ke dalam cinta suci, cinta yang halal. Cinta dalam mihrab
Allah.
Tetap istiqomah ya. Jangan lupa juga, sayangilah ibu dan adikmu. Ingat surga
dibawah telapak kaki ibu.
Yang selalu mencintaimu,
Endrita Kusuma Wijata
Qifti,
hanya menangis dan berjanji bahwa ia akan menjadi wanita sholehah. Bukan karena
Tata ataupun Sota. Namun berkat nasihat dari Tata. Dia sadar, bahwa selama ini
dia telah salah dan ingin kembali ke jalan Allah. Tentu tujuannya semata-mata
karena Allah. Kerinduan kepada sang Khalik dan rindu ingin bertemu Allah dalam
surga bersama dengan keluarganya. Terutama impian terbesar dalam hidup adalah
membahagiakan ibunya. Karena ibu adalah satu-satunya tempat untuk Qif membentuk
karakter dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar