Minggu, 20 April 2014

second story

Kuulurkan Hijabku




Terus menyelam ke dalam kehangatan cinta, menangis dan merajuk pada sang pencipta. Tak tahu harus merangkak dan merengek kepada siapa selain kepada-Nya. Senyum yang terus merekah menggambarkan betapa bahagianya dia dengan hidup yang dijalani. Bukan hal yang sulit melewati hidup dengan konsistensi tinggi seperti gadis cantik nan pintar ini, dia adalah Maria Qiftiayah.
      Hari ini, Qifti siap berangkat ke sekolah bersama adiknya Galih. Dengan membawa dua kotak kue yang akan dititipkan di kantin sekolah. Sudah dua tahun ini kedua kakak beradik ini telah mendapatkan beasiswa, namun tak pernah menyombongkan diri.
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam, eh nak Qifti. Wah sepertinya bawa kue cukup banyak.’
“Iya bu, Alhamdulillah bunda dapet modal banyak kemaren.”
“Alhamdulillah, semoga aja habis. Oh iya, ini hasil penjualan kemaren.”
“Iya bu, makasih ya.”
Qifti segera masuk ke kelasnya untuk mengikuti proses belajar mengajar. Tidak seperti biasa, kelas begitu lengang tanpa suara bahkan sampai bel berbunyi.
“Tyas, tumben hari ini kelas sepi, nggak kaya biasanya kenapa ya?”
“Ya elah Qif, apa loe nggak liat tadi, siapa yang ngajar?”
“Kak Syaili kan. Terus kenapa?”
“Ih, loe mah cupu. Kakak itukan ganteng banget, hemmm.”
“Ah, biasa aja tuh.”
Loe emang nggak  ngerti Qif.”
Qifti berfikir keras perkataan Tyas, namun dia belum bisa mengerti.
      Sebentar lagi Qifti ujian semester dua, dan siap bertarung kembali untuk mendapatkan beasiswa akademik. Dengan kepintarannya Qifti tetap belajar keras demi sekolahnya. Sehingga dia begitu polos dari namanya cinta remaja. Saat ini Qifti tidak ingin memikirkan hal itu dan fokus untuk sekolah. Satu hal yang ingin iya lakukan. Membuat ibunya tersenyum, terutama setelah ayahnya pergi tanpa pesan.
      “Assalamualaikum, bunda.”
“Wa’alaikumsalam, Qif. Udah pulang? Adekmu mana, kok belum pulang?”
“Hemm, iya bun dia pulang sore mau persiapan OSN,”
“Huft... iya udah kalau gitu. Gimana hasil yang kemaren nduk?’
“Alhamdulillah. Tapi sisa tiga, tak suruh bawa Galih buat makan siang bun.”
“Iya nggak apa-apa.”
Qif merasa sangat bahagia melihat ibunya tersenyum, namun tiba-tiba rona wajahnya berubah menjadi kelam. Dihatinya begitu pilu bila ingat kesengsaraan yang dirasakan ibunya. Namun dengan segera ditepisnya, karena ia tak ingin terlarut dalam kesedihan. Dihapuskan air mata dari pipinya dan segera keluar dari kamar membantu ibunya membuat kue.
“Qif, udah ganti bajunya nak? Makan dulu sayang.”
“Hemmm, iya bun, bunda udah makan belum?”
“Udah sayangku.”

*****

      Tidak seperti biasanya, Qif merasa ada yang sedikit berbeda di sekolahnya. Qif berusaha keras befikir mencari-cari perbedaannya. Di pandanginya setiap sudut sekolahnya. Qif menaruh tas di bangkunya. Setapak demi setapak ia lalui. Membuka mata lebar-lebar.
“KETEMU.” suara keras mengagetkan orang disekelilingnya.
“Kenapa Qif?” tanya Aldi.
“Oh, nggak. Maaf ya?” ucap Qif lesu.
“Sip. Aku ke kelas ya.” jawab Aldi.
“He, eh.” Qif hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
      Sesuatu yang berbeda adalah rasa di kantin sekolah. Dilihatnya sepasang cicak menari-nari di rak piring penjual mie ayam. Tapi bukan itu, namun sosok yang menggantikan ibu kantin tempat ia menitipkan kue tidak ada. Kebetulan hari ini adalah jum’at, jadi tidak menitipkan kue. Namun yang membuatnya lebih merasa berbeda adalah penjualnya. Qifti menatap penjualnya seksama. Lambat laun Qif ingat.
“TATA. Kamu Tata kan?” tanya Qif meyakinkan diri.
“Iya, siapa ya?” tanya penjual.
“Ih, masa lupa sih. Saya Qif, temen SD mu. Waktu itu kamu pindah waktu kelas dua. Inget kan?” Qif masih penasaran.
“Iya, aku Tata. Qif? Yang mana ya? Qiftiyah Umami bukan? Bukan ya. Qif yang mana sih. Temen saya SD? Kapan saya SD ya. Kok nggak inget ya.” penjual masih berusaha keras mengingat.
“ Maria Qiftiyah. Anaknya bu Aminah penjual jajanan SD. Tetangga belakangmu dulu. Dulu, ayah kamu ABRI, karena pindah tugas, makanya kamu pindah.” Qif masih menjelaskan.
“ Oh, iya aku inget. Yang sering aku panggil roti mari kan. Ih, maaf banget ya. Maklum sejak pindah ganti temen.”
Akhirnya sang penjual ingat. Dan mereka terus asik mengobrol sampai bel bunyi, dan Qifti segera masuk kelas.
      Jam dinding terus merdetak, lambat laun mengayun-ayun tanpa henti. Semakin lama waktu semakin berlalu. Daun-daun yang menua dan gugur. Bunga-bunga yang kuncup merekah. Serta matahari yang mulai turun dan masuk ke dalam mihrab nya. Lamunannya terbawa sampai ke rumah. Tak tahu pikiran apa yang tengah menggelayutinya. Malam yang dinginpun tak mengajaknya untuk tidur dalam balutan selimut. Qifti mulai mencari kotak dalam lemarinya, meraih dan membukanya.
“Ini, gelang yang pernah Tata kasih ke aku.” Qifti menggumam sendiri. Terus dibuka dan dilihat dengan seksama.
“Ini, foto pertama kami dapet rangking umum. Aku kangen kamu Ta. Sahabat dari SD, pisah karena pindah. Sekarang kamu dateng tanpa angin. Hampir aja aku ngelupain kamu.”
Qifti mulai tertidur dengan lamunan masa kanaknya dulu.
      Pagi ini Qifti menitipkan kembali kue buatan ibunya di kantin sekolah. Namun sosok Tata tak terlihat lagi. Qif mencari dan menunggu namun tak muncul-muncul. Qiftipun meninggalkan kantin. Qif tak sabar menyelesaikan pelajaran hari ini. Saat bel istirahat berbunyi, Qif ke kantin dan mencari Tata kembali. Namun tidak ditemukan. Bahkan sampai sekolah usai. Qifti hanya bergumam, kemana Tata pergi. Qif pulang dengan segudang tanya menggelayut dalam otaknya.
      “Qif?”
“Iya bun.”
“Kapan kamu pulang, kok nggak salam?”
“Iya bun, mungkin karena aku melamun di jalan tadi, jadi nyelonong aja. Hehehe maaf ya bun.”
“Lagi mikiran apa sih sayangku. Udah tiga hari melamun terus?”
“Qif ketemu temen SD bun. Tata, ingat nggak bun? Dia jaga kantin bun, tapi tadi aku cari kok nggak ada ya.”
“Oh, iya. Anaknya pak ABRI itukan? Mungkin nggak lagi jaga kantin sayang. Namun Qifti masih penasaran dengan keberadaan temannya itu. Sampai seminggu tak juga muncul kembali.

*****


      Hujan turun deras menghentikan langkah kaki Qif. Segera berlari meneduhkan diri dibawah pohon. Seorang diri tanpa kawan hal yang biasa. Tiba-tiba saja ada yang datang. Laki-laki berjaket kulit dengan helm turun dari motornya. Qif masih diam di tempat. Ada sedikit rasa takut dalam diri bila laki-laki itu bermaksud jahat. Namun segera di tepiskannya. Namun laki-laki segera berada disampingnya, membuka kaca helm.
“Apa kau mencariku?” suara itu terlontar dari laki-laki itu. Namun hujan telah reda, dan laki-laki itu pergi.
“Hei, tunggu, kamu siapa?” tanya Qif. Namun lelaki itu tidak kembali. Qif segera pulang dan mengingat-ingat suara itu. Siapa dia, kenapa dia ngomong gitu. Qif terus memikirkannya. Namun tak terasa lagkahnya telah sampai di depan rumah. Dan sang bunda sedang membaca sebuah pamflet dari Universitas.
      “Assalamualaikum, bun.”
“Wa’alakumsalam. Sini bunda kasih tau.”
“Apa bunda?”
“Ini tadi ada cowok dateng bagi pamflet juga brosur beasiswa. Tahun depan kamu harus kuliah.”
“Bunda. Tapi dapet biaya dari mana?”
“Ini brosur beasiswa. Coba kamu ikut seleksinya ya. Sebulan lagi. Semua biaya udah ditanggung universitas.”
“Tapi bun, Qif nggak mau jauh dari bunda. Bunda tau kan konsekuensinya. Tempat ini jauh. Belum tentu Qif bisa pulang setahun sekali.” Qif meneteskan air matanya. Tak ingin ia pergi dan meningggalkan ibu serta adiknya yang masih sekolah. Qif ingin membantu membiayai kehidupan keluarga kecilnya. Segera Qif masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Sang ibu hanya mampu terdiam mendengar penuturan anaknya yang selalu pantang menyerah itu.
      Sampai malam Qif belum keluar kamar. Ibu yang masih sibuk membuat kue meminta Galih melihat kakaknya. Segera ia masuk ke kamar kakaknya. Dilihatnya Qif tertidur dengan air mata melekat dipipi yang kemerah-merahan itu. Galihpun melapor pada ibunya.
“Bun, kakak lagi tidur. Emang ada apa sama kakak bun?”
Nnggak tau lah le. Bunda juga bingung. Yowes biarin aja, nanti bunda buatin lauk buat kakakmu. Siapa tau bangun kelaperan.”
“Iyalah bun. Biarin aja. Kakak itu ada-ada aja kelakuannya kalau lagi ada masalah.”
      Pukul 04.00 wib. Ibu sudah bangun dan menggoreng donat-donatnya. Membuat adonan kue lapis. Galih juga sudah bangun dan sedang bermunajat kepada Tuhannya. Qif ikut terbangun dan segera ke dapur.
“Semalem nggak makan, nduk? Itu lauknya di meja.”
“Nanti aja bun, eh kok goreng donatnya banyak banget bun?”
“Oh, iya ada pesenan buat arisan. Jadi nanti kamu nganterin kue ini ke rumah yang pesen ya. Biar yang sebagian dibawa adekmu dititipin di kantin.’
“Oh, gitu. Ya udah, Qif mandi dulu ya bun. Bersih-bersih dulu. Risih nih.”
      Pukul 06.15.00 wib, Qif sudah siap mengantarkan  kue arisan ke jalan Bojonegoro, gang Melati, nomor 335. Dengan menaiki angkutan kota, Qif menghabiskan waktu 25 menit untuk sampai ke tujuan.
“Assalamualaikum.” salam Qifti.
“Wa’alaikumsalam. Siapa ya?” tanya satpam rumah besar itu.
“Oh, saya Qifti anak ibu Aminah. Saya mau nganterin kue pesenan buat arisan.” jelas Qif.
“Oh iya, bilang terimakasih dari nyonya ya dek.” Ucap satpam ramah.
      Qifti segera mencari angkot. Namun yang ditunggu tak jua datang. Namun tiba-tiba datang laki-laki dengan motornya, menawarkan Qif tumpangan. Namun ia menolaknya karena ia tidak mengenal orang tersebut. Segera laki-laki itu membuka helmnya.
“Aku bukna orang jahat.” ucapnya ramah.
“Tata. Ya ampun aku kira siapa.” Qif kaget. Dia muncul lagi.
“Udah buruan naik, keburu telat nanti.” perintah Tata.
“Iya Ta, makasih ya.”
Motor yang lebih mirip motor GP melesat menuju sekolah Qif. Cukup 10 menit. Qif telah sampai sekolahnya.
“Makasih ya Ta.” Qif tersenyum malu.
“Santai aja. Belajar yang pinter ya.” ucap Tata sambil mengucak-ucek rambut Qif.
      Kembali Qif dibuat penasaran oleh kehadiran Tata, teman masa kecilnya dulu. Namun segera dibuyarkan suara bel sekolah. Seperti biasa, Qif belajar di kelasnya.

*****

      Sebulan sudah, ibu masih bingung dengan kelakuan Qif yang semakin aneh. Ia sering membuka album foto, membuka buku catatan waktu sekolah dasar dan membuka mainan semasa kecil. Bahkan yang membuat aneh adalah, Qif betah berlama-lama melamun. Itu bukanlah Qif yang selalu berfikir waktu adalah uang.
“Bun, brosur beasiswanya dimana. Qif fikir nggak ada salahnya mencoba.”
“Alhamdulillah. Ini segera diisi, terus besok biar bunda yang kirim. Minggu depan kamu udah harus berangkat tes di kota Jogja.”
“Tapi, Qif kan nggak tau gimana caranya kesana?”
“Nanti bunda minta tolong sama Sota.”
“Siapa Sota bun?”
“Temen kamu yang udah kuliah di sana, kan lagi liburan tempat tantenya.”
“Yang mana. Lupa aku bun.”
“Ya udah, nanti juga inget. Ya udah bunda sms dia. Biar dateng ke rumah. Sekalian makan malem bareng.”
“Terserah bunda ja, gimana baiknya.”
      Bunda sudah rapi, juga Galih. Namun Qif masih terdiam dalam kamarnya dan mengingat-ingat teman lamanya yang bernama Sota. Tiba-tiba suara motor datang dari halaman rumahnya. Segera Qif merapikan rambutnya dan keluar menyambut tamunya itu.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Nak Sota sudah datang. Masuk sini nak.” sambut ibu gembira.
“Qif, nggak lupa sama aku kan?”
Qif, yang terunduk mengangkat wajahnya. Qif mengangkat wajahnya.
“Jadi Sota itu Tata. Ya ampun, pikir ku temen yang mana. Hehehe.” tawa Qif.
      Dan mereka makan malam bersama. Tak disangka selama sekolah Sota mengikuti program akselerasi tiga kali. Sehingga saat ini Sota memasuki semester 6.
“Wah, kamu keren banget Ta. Tapi, seingetku nama kamu bukan Sota. Tapi kok jadi sota.” Qif penasaran.
“Iya, bukan Sota. Tapi Endrita Kusuma Wijaya. Tapi aku ganti nama waktu sekolah menengah.”
“Kok bisa. Jadi nama kamu sekarang apa?” Qif masih penasaran.
“Sota Kusuma Wijaya.”jawab Tata pendek.
“Tapi, aku lihat kamu beda ya. Waktu di kantin sekolahku.”
Tiba-tiba Sota terperanjat. Ia kaget. Namun segera Sota menenangkan diri dan menjawab pertanyaan dengan senyum.
“Apa yang berbeda dari aku. Wajahku?”
“Hemm, iya terlihat lebih gelap, waktu itu keliatan putih tapi agak pucat dan maaf, lebih tua.”
“Oh.. iya kan baru dari kota. Habis mabuk di jalan, jadi pucat. Akhir-akhir ini mulai mikirin judul skripsi. Jadi banyak pikiran, jadi maklum kalo keliatan tua. Hehe.” Sota menjelaskan.
“Jadi gitu ya. Oh ya. Dunia perkuliahan itu kayak mana sih?”
“Nanti juga tau sendiri, kalu udah kuliah.”
“Gitu aja. Nggak bantu sama sekali.”
“Ya udah, aku mau pamit. Udah malem, jangan lupa belajar. Nanti kita berangkat jum’at sore. Aku jemput.”
“Sip lah Ta. Oh ya aku panggilin bunda dulu ya.”
Nggak usah, titip salam aja ya. Aku balik dulu. Asaslamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam waohmatullohi wabarokatuh.”

*****

      Hari ini, Hari yang paling ditunggu-tunggu keluarga kecil Qifti. Jam telah menunjukkan pukul 13.28. Namun Sota belum datang juga, hati Qifti semakin was-was. Tiba-tiba Qifti memeluk ibunya.
“Bun, Qifti minta maaf ya. Do’ain Qif ya bun. Ridhoi jalan yang Qif ambil bun.”
“Iya sayangku. Tetep semangat ya. Bunda sama Galih pasti do’ain kamu.”
“Makasih bun. Qif sayang bunda.”
“Bunda juga sayang banget sama Qif.”
Qif melepas pelukannya dan mencium kedua pipi ibunya. Memeluk Galih dan mencium keningnya. Sampai tak terasa Sota sudah datang untuk menjemput Qif.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Qif dah siap nak. Ini kebutuhannya selama tiga hari.”
“Iya bu. Sota siap menjaga Qif disana.”
“Ya udah, segera berangkat. Nanti ketinggalan kereta lagi.”
“Iya bu. Ayo Qif.”
“Iya Ta. Bunda, doakan Qif ya bun.”
      Qif dan Sota berangkat ke Jogja untuk tes. Sungguh berat hati Qif meninggalkan ibu dan adiknya. Walau tes bukan di tempat universitas. Tapi kota Jogja cukup jauh dari kampungnya di Caruban, Madiun. Butuh waktu lima jam untuk sampai Jogja. Dalam perjalannya, Qif hanya melihat foto ibunya dan menangis. Sota yang ada di sampingnya memberikan sapu tangannya untuk membersihkan wajahnya dari cucuran air mata. Tiga jam telah lewat dan mereka terbuai dalam mimpi sore hari. Dan mereka sampai di Jogja pukul 19.27 wib. Sota membawa Qif ke rumahnya di Sleman. Segera sang ibu menyambut dengan bahagia.
“Wah, Sota udah pulang. Jadi bawa temen dari Karang Tengah?”
“Iya mah. Ini Qiftiyah. Ingen nggak mah.”
“Ya inget dong. Anaknya bu Aminahkan.”
“Iya bu.” ucap Qifti.
“Kamu, mirip sekali dengan ibumu. Cantik, pintar. Luar biasa ibumu mendidikmu.”
“Tidak bu, saya bukan selarbiasa itu. La wong saya belum tau apa-apa.”
“Ya udah, kamu naik ke atas. Tidur di kamar tamu, samping kamar Sota. Nanti Sota saja yang bawa ke kamar.”
Nggeh bu. Saya duluan bu.”
“Iya….”
      Sesaat Qif ingat, untuk menghubungi ibunya saat berada di Jigja. Qif membersihkan dirinya dan mermunajat sesaat dan turun kembali untuk makan malam bersama, karena ibu Sota telah memanggilnya.
“Qif, sini duduk di samping ibu.’
“Iya bu.”
“Gimana persiapan untuk ujian? Kata ibumu, kamu pintar sekali.”
“Saya berusa menjadi yang terbaik. Ah ibu, nggak segitunya. Bunda itu kebiasaan berlebihan membanggakan anaknya.”
“Alhamdulillah, besok ujiannya mulai jam delapan pagi di UNY, jadi tetep semangat dan optimis ya.”
“Iya bu. Makasih.”
“Iya Qif, nanti aku anterin. Aku kan masih libur. Senin baru masuk kuliah lagi.” sambung Sota.
“Sip lah Ta. Maksih ya. Kamu baik banget. Tapi aku baru inget. Perasaanku dulu Tata punya kakak deh. Tapi dari kecil tinggal di Jogja, jadi aku nggak tau yang mana orangnya. Dimana dia bu?”
“Oh. Itu yang lagi…”
“Mah, tolong.”
“Ada apa ini bu, Ta.”
“Oh, kakak aku lagi ngurusin skripsinya di Bandung.”
“Emm, emang kakak kamu kuliah dimana?”
“di PolBan.”
“PolBan itu apa Ta?”
“Oh, Iya. Polban itu Politekhnik Bandung.”
“Oh. Gitu ya. Saya ngerti sekarang.”
      Usai makan malam, mereka ke kamar masing-masing. Karena ibu Sota tahu, bahwa anaknya serta Qifti masih sangat lelah. Namun Sota ke kamar ibunya sejenak untuk membicarakan saudaranya.

*****

      Selamat pagi dunia. Hari ini adalah hari pertama tesku.
      Aku yakin, aku bisa menaklukanmu hari ini.
      Dunia, engkau akan berada dalam genggamanku sekarang.
      Jadi tunggulah aku.

      Hari ini begitu cerah, Qiftipun siap untuk berangkat tes. Namun sebelumnya ia sarapan bersama dan ibu Sota membawakan bekal untuk keduanya.
“Qif, semangat ya sayangku.”
“Iya bu. Itu pasti.”
“Sota, jangan keluyuran. Jagain Qif, anak orang itu.”
“Iya mamahku sayang.”
“Kami berangkat dulu ya bu. Assalamualaikum warohmatulloh wa barokatuh.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya sayang.
      Mereka berangkat, sepanjang jalan Qif mengembangkan senyumnya. Dia yakin akan menaklukkan soal-soal yang akan dia kerjakan nanti dan akan membawa kabar gembira untuk ibunya tersayang. Dan Sota hanya bisa tersenyum miris. Jika Qif tahu, apa yang terjadi sebenarnya.
“Baiklah, udah sampek nih. Aku anter sampek tempat ya.”
“Oke Ta.”
Sota mengantarkan Qif ke GSG UNY. Dan meninggalkan Qif dan pesan untuk kembali ke tempat semula.
“Jangan lupa, setelah tes selesai langung balik kesini lagi ya.”
“Oke Sota.”
Sota kembali ke dalam mobilnya. Duduk terdiam dan termenung. Bagiman aia menyampaikan pesan saudaranya untuk Qif.
      Sota masih duduk tanpa berkata-kata. Diambilnya foto dari dompetnya, dipandangi dengan penuh cinta. Endrita, adalah adik Sota. Qif tidak tahu, dan Sota berbohong. Kakak beradik yang selisih setahun itu, tidak tahu harus berbuat apa. Ibu Sota hanya dapat menyimpan rahasia yang menjadi beban Sota selama ini. Adiknya Endrita memang sempat bertemu dengan Qif di kantin dan sengaja menemui Qif ketika hujan turun dan menghilang lagi. Setelah itu Endrita benar-benr hilang ditelan bumi menyusul kakak perempuannya yang telah meninggal ketika berumur dua tahun. Sota menelan ludahnya, matanya telah berkaca-kaca. Sampai kapan ia harus membohongi Qifti.
      Endrita berpesan untuk membawa Qif ke rumah dan diperkenalkan kepada ibunya. Agar ibunya tahu bahwa perempuan yang ia tinggalkan semasa kecil dulu telah berubah menjadi kupu-kupu yang indah dan sekuat dan setegar batu karang. Membantu Qif untuk meneruskan pendidikan. Dan yang terakhir untuk memberitahukan kematiannya saat usai ujian beasiswa. Tak terasa Sota sudah bergelimpangan tangis. Ia tahu saat itu adiknya begitu mencintai Qifti, namun cintaya tak tercapai dan tak terungkap kepada Qifti sampai malaikan Izroil datang untuk membawa kembali Endrita ke pangkuan tuhannya, Allah.
      “Tok…tok…tok….”
“Sota, Sota?”
Sota kaget, segera ia menghapus tangisnya.
“Oh, maaf Qif, ketiduran…hehee.”
“Yakin habis tidur. Bukan dari nangis.”
“Beneran deh. Sweer.”
“Ya udah, kita makan siang yuk, udah laper nih. Terus nanti kita sholat ya.”
“Sip lah tuan putri.”
Ih, apa an sih Sota ini.”
“Ya udah, buruan makan.”
“Oke deh.”
      Ujian terus berlangsung sampai hari kedua. Namun hari kedua hanya sampai pukul 10.00 wib. Dan ibu Sota mengajak Qifti jalan-jalan dan pergi ke Malioboro untuk belanja-belanja. Awalnya menolak karena Qifti dibawakan uang pas oleh ibunya. Namun setelah ibu Sota meminta dengan sangat. Akhirnya Qif ikut, walaupun hanya sekedar menemani.
“Hemmm, sebelum pulang. Qif harus ikut jalan-jalan bentar. Juga belanja ya.”
“Iya bu.”
      Pertama yang ibu Sota lakukan adalah membeli beberapa baju gamis dan setelan pakaian muslim dan sejumlah kerudung. Namun Qif tidak tahu bahwa itu untuk dirinya. Selepas solat dzuhur, Sota menjemput mereka di Malioboro. Sota membawa mereka ke sebuah pemakaman umum. Tiba-tiba ibu Sota menitikkan air mata, tak terkecuali Sota. Qif masih bingung dan bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi pada mereka sapai mereka menangis.
“Bu, kita mau ke makam siapa?”
“Sota, mau ke makam siap sih?”
Namun saat ditanya keduanya hanya membungkam. Sampai pada sebuah makam. Dan ibu Sota memeluk Sota karena sudah tidak tahan lagi menahan kesedihan ini. Seksama tapi pasti, Qif membaca kata demi kata yang tertulis di nisan itu.
Wafat
Endrita Kusuma Wijaya
19 Desember 2009
Lahir
19 Desember1991
      Qifti tecekat. Meledaklah hatinya, air matanya meleleh di sungai-sungai pipinya yang merona. Ia pun duduk memegang nisan Tata. Sota yang tahu sejak awal meminta maaf.
“Qif, maafin kami. Kami berbohong, karena permintaan Tata.”
“Kenapa dia nggak bilang. Gimana ini bisa terjadi?” Qifti masih menangis menyesali.
“Tata sakit kanker darah. Dia sengaja datang menemuimu, pura-pura tidak kenal. Padalah dia sangat merindukanmu.” jelas Sota.
“Tata sangat mencintaimu, dia ingin melihatmu dan membawamu kemari dan mengenakan pada ibu.” Ibu masih menangis mengingat keinginan anak bungsunya.
Qif terdiam, menghapus air matanya. Dengan tegas dan lantang dia ingin pulang.
“Bu, aku ingin pulang hari ini.”
“Maafin kami, kami nggak langsung jujur.”
“Saya ingin pulang.”
“Kami tau ini berat untukmu. Tapi tunggu sebentar, ada titipan dari Tata. Mari pulang dulu ke rumah.”
Dengan pasrah Qifti pulang ke rumah Sota.
      Qif membereskan pakaiannya. Dan bersiap pulang.
“Qif, ibu harus menyampaikan ini.”
Qif masih membisu dalam tangisnya. Sota masih menengangkan Qifti.
“Tata ingin sekali melihat Qif berkerudung, jadi ini untuk Qif. Dan ini surat dan kado dari Tata. Kami belum pernah membukanya.”
“Ibu, terimakasih.” Qif segera memeluk ibu Sota dan menangis bersama-sama.
Qif segera di antar Sota ke stasiun karena kereta akan segera berangkat. Sota berpesan agar tidak pernah melupakannya serta ibunya.

*****

      Qifti duduk termenung sendiri dikeramaian penumpang kereta. Dibuka kado dari Tata, perlahan tapi pasti. Berkilauan, menyilaukan mata. Kalung bertuliskan Qiftiyah dan bros yang terbuat dari perak, bertahtakan diamond.
“Tata, mengapa kamu jahat. Memberikan aku benda semahal ini, dan aku tidak bisa membayarnya untukmu.” gumamnya sendiri.
Segera Qif menyimpan hadiah dari Tata ke dalam tasnya. Qif menarik amplop biru dan membukanya dengan penuh kasih sayang. Dibacanya dengan penuh perhatian.

Bismillah.
Assalamualaiki Ukhti.

Alhamdulillah, Allah masih memberikanku kesempatan untuk melihatmu dan semangatmu. Terimakasih ya Allah memberiku kesempatan untuk menulis.

Qif. Tahukah engkau sejak kepindahanku di Madiun, kau adalah satu-satunya sahabat yang terbaik yang aku punya. Aku bahagia, aku ingin berada disisimu. Namun aku harus kembali lagi ke Jogja. Meskipun hanya  tiga tahun. Tapi aku sangat bangga dan bahagia memilikimu sebagai sahabat. Namun akhir-akhir ini, aku sangat ingin bertemu denganmu. Tak hanya itu. Yang membuatku sangat menginginkanmu adalah saat engkau muncul beberapa kali dalam mimpiku.

Saat aku melihatmu di kantin itu, aku tahu bahwa itu kamu. Namun aku pura-pura tidak kenal agar engkau penasaran terhadapku. Dan aku berhasil membuat kejutan ini. Iya kan??

Sungguh, sangat disayangkan, engkau membuka auratmu. Sudah memakai seragam panjang dan berpakaian sopan. Mengapa tak kau hijab auratmu.

Auratmu sangat mahal. Tak boleh kau umbar-umbar. Tak seorangpun berhak melihatnya. Sayang, selama ini tanpa kau sadari engkau telah memberi cuma-cuma keindahan auratmu pada yang tak berhak. Belajarlah ilmu akhirat Qif, aku tahu engkau orang baik, sosial masyarakat yang baik juga. Tapi tak cukup itu. Perdalam lah ilmu agamamu.

Tutuplah auratmu dengan hijab yang sempurna. Tak sekedar kerudung tipis dan menampakkan bentuk leher dan rambut. Namun hijab yang syar’i. semoga engkau menjadi kekasih dan hamba yang dicintai Allah.

Ingatlah Qif. Saat engkau merapatkan selangkah kakimu pada Allah maka seribu langkah Dia akan rapat padamu.

Qif, aku sangat mencintaiu. Andai aku diberi wantu lebih lama. Ingin rasanya aku membawamu ke dalam cinta suci, cinta yang halal. Cinta dalam mihrab Allah.

Tetap istiqomah ya. Jangan lupa juga, sayangilah ibu dan adikmu. Ingat surga dibawah telapak kaki ibu.


Yang selalu mencintaimu,                   


                                   Endrita Kusuma Wijata                    


     


            Qifti, hanya menangis dan berjanji bahwa ia akan menjadi wanita sholehah. Bukan karena Tata ataupun Sota. Namun berkat nasihat dari Tata. Dia sadar, bahwa selama ini dia telah salah dan ingin kembali ke jalan Allah. Tentu tujuannya semata-mata karena Allah. Kerinduan kepada sang Khalik dan rindu ingin bertemu Allah dalam surga bersama dengan keluarganya. Terutama impian terbesar dalam hidup adalah membahagiakan ibunya. Karena ibu adalah satu-satunya tempat untuk Qif membentuk karakter dasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar